KH BISRI SANSURI (Santri Wanita)
Ternyata dalam tahun 1919 Kiai Bisri membuat sebuah percobaan yang sangat
menarik, yaitu dengan mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di
pesantrennya. Mereka adalah anak tetangga sekitar, yang diajar di beranda
belakang rumah Kiai Bisri sendiri. Langkah penting ini adalah percobaan pertama
di lingkungan pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada anak-anak
perempuan muslim, setidak-tidaknya di Jawa Timur. Langkah yang demikian 'aneh'
di mata ulama pesantren itu tidak luput dari pengamatan gurunya, Kiai Hasyim
Asy'ari, sehingga pada suatu hari sang guru datang melihat sendiri perkembangan
yang terjadi di pesantren bekas muridnya itu. Walaupun tidak memperoleh izin
spesifik dari sang guru. Kiai Bisri memilih melanjutkan percobaannya itu,
karena juga tidak ada larangan datang dari guru yang ditundukinya itu.
Ketetapan hatinya untuk meneruskan percobaan itu adalah suatu perubahan sikap
cukup besar dalam diri Kiai Bisri. Sedangkan sebelumnya ia tidak pernah
mengambil tindakan baru apapun tanpa memperoleh perkenan formal dari sang guru
terlebih dahulu seperti dapat dilihat pada kasus keengganannya memasuki
Syarikat Islam cabang Mekkah sewaktu didirikan dalam tahun 1913. Mungkin di
saat itu telah terjadi perkembangan yang dibawakan oleh kematangan sikap dalam
menentukan keputusan berdasarkan pranata hukum agama, seperti nantinya akan
terbukti dalam beberapa hal lain.
Kiai Bisri, sebagaimana kebanyakan kiai muda lainnya, yang lulus dan masih menunduki guru mereka di Tebuireng, secara periodik datang ke tempat gurunya. Kunjungan insidental sering dilakukan, termasuk kalau ada masalah yang sepatutnya dimintakan pertimbangan sang guru. Tetapi kunjungan menetap dilakukan dalam bulan Puasa, ketika para alumni 'kembali' ke pesantren tempat mereka semula belajar, guna mengikuti pengajian khusus sebulan penuh oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, terutama kumpulan hadits Bukhari dan Muslim, serta kitab fiqh standard yang menjadi 'wiridan' sang guru itu: Fathul Qarib, lebih dikenal dengan nama Taqrib.
Eratnya hubungan guru dan murid yang sudah sama-sama menjadi kiai itu sebenarnya tidaklah mengherankan karena sesuai secara keseluruhan dengan tradisi pesantren. Bahkan Kiai Hasyim Asy'ari sendiri memiliki hubungan guru-murid yang unik dengan gurunya semasa belum belajar di Mekkah dalam abad kesembilan belas, yaitu Kiai Khazin Siwalan Panji dekat Surabaya. Ketika Kiai Hasyim, sang murid, telah menjadi kiai besar dengan jumlah murid ribuan, sang guru Kiai Khazin datang ikut mengaji kepadanya dalam bulan Puasa di Tebuireng. Kiai Hasyim memberikan penghormatan sepenuhnya kepada gurunya di masa muda itu, tetapi juga mengikuti perintah sang guru supaya meneruskan pelajaran yang diberikannya.
Akrabnya hubungan Kiai Bisri dengan gurunya Kiai Hasyim itu terlihat ketika sang guru mempertanyakan secara terperinci berita-berita yang didengarnya tentang diri sang murid. Kiai Bisri dan iparnya, Kiai Abdul Wahab (yang baru kembali ke tanah air pada tahun 1917), menjelang tahun 1920 banyak terlibat kegiatan keagamaan de-ngan teman mereka semasa di Tebuireng dahulu, yaitu Abdul Mu'ti. Kawan yang lahir di Jombang ini, tetapi kemudian dikenal sebagai 'Kiai Mu'ti Kudus' oleh para warga Gerakan Pemuda Islam Indonesia sejak tahun lima puluhan di Jakarta, tidak mengikuti jejak mereka berdua untuk belajar di Mekkah. Dalam tahun belasan itu Abdul Mu'ti justeru terserap ke dalam gerakan Muhammadiyah yang berkembang di Jombang setelah Perang Dunia I.
Dengan segera kedua kiai muda lulusan Mekkah itu terlibat dalam hubungan yang unik dengan teman mereka Abdul Mu'ti itu. Di satu pihak mereka bertiga senantiasa memperdebatkan masalah-masalah yang diperselisihkan waktu itu, seperti masalah tahlil dan sebagainya. Tetapi 'dialog' itu juga merupakan forum pematangan bersama, karena silih berganti mereka melakukan debat antara pesantren yang didirikan Kiai Bisri di Denanyar dan di pusat kegiatan Muhammadiyah di kota Jombang sendiri. Sistim berganti tempat dalam melakukan perdebatan atas dasar saling menghormati, dan tidak akan ada keputusan hingga akhir hayat mereka, dengan segera terdengar oleh Kiai Hasyim di Tebuireng. Tidak heranlah jika kemudian Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab dipanggil ke Tebuireng, untuk mendapat teguran keras sehubungan dengan partisipasi mereka dalam serangkaian kegiatan Muhammadiyah di Jombang, dan pemberian kesempatan kepada Abdul Mu'ti untuk turut mengisi acara keagamaan di pesantren Kiai Bisri yang baru tumbuh itu.
Adalah menarik mendengar penuturan Kiai Bisri dikemudian hari, setelah wafatnya Kiai Abdul Mu'ti dalam penutup tahun-tahun tujuh puluhan, betapa Kiai Abdul Wahab justeru melawan penilaian sang guru atas perilaku mereka berdua. Itulah pertama kali Kiai Bisri melihat iparnya itu berbeda pendapat dari guru mereka, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Sedangkan Kiai Bisri sendiri, seperti sudah dapat diduga semula, tidak mengajukan bandingan pandangan apapun terhadap pendapat sang guru itu. Tetapi kembali mulai terlihat betapa iapun sudah mulai mengembangkan pola mengambil pendapat sendiri, karena setelah kejadian itupun ia masih terus bergaul dengan Kiai Abdul Mu'ti, hingga saat kepindahan teman itu ke Kudus pada permulaan tahun-tahun dua puluhan. Seperti juga halnya sewaktu sang guru itu menasehatinya agar tidak menimbulkan gelombang dengan mendirikan kelas putri di pesantrennya. Baik dalam kasus kelas putri itu maupun dalam kasus Abdul Mu'ti, sang guru tidak menjatahkan larangan mutlak, melainkan hanya menyangkut peringatan terhadap kemungkinan munculnya gelombang di kalangan kiai-kiai lainnya. Karena bentuk 'larangan' yang seperti itu, terdapat ruang gerak bagi sang murid untuk menentukan pendapatnya sendiri secara jelas. 'Kode etik' merumuskan pendirian seperti ini di kemudian hari juga dikembangkan Kiai Bisri sendiri, sebagaimana akan terlihat dalam banyak kasus nantinya.
Kedatangan kembali Kiai Abdul Wahab dari Mekkah, ternyata menyeret Kiai Bisri ke dalam pola kegiatan yang lain. Kiai Abdul Wahab hanya dua-tiga tahun saja tahan tinggal di desanya, Tambakberas di Jombang. Segera ia merasa begitu resah, sehingga ia memilih untuk menetap di Surabaya, tempat kerabat ibunya di bilangan Kertopaten, tidak jauh dari bilangan Ampel dan Sasak di utara kota. Kebetulan pada waktu itu berkumpul pula di Surabaya dua orang teman yang tadinya bersama-sama aktif dalam kegiatan Syarikat Islam cabang Mekkah yang hanya berumur setahun, yaitu Kiai Asnawi dari Kudus dan pemuda Dahlan (yang termuda diantara kelompok itu) dari Kertosono. Kiai Asnawi waktu itu dibuang ke Surabaya oleh pemerintah kolonial, karena sikapnya yang keras terhadap golongan non-santri. Dahlan, seperti halnya Kiai Abdul Wahab, tidak mampu menahan tarikan hidup kota besar. Bersama dengan sejumlah kiai muda setempat, seperti Kiai Dahlan Kebondalem dan Kiai Ridwan, mereka bertiga mendirikan klub kajian yang mereka beri nama Taswirul Afkar (terjemahan literer: konseptualisasi pemikiran). Dari kelompok kajian ini kemudian lahirlah sebuah sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Namun sebelum kepindahannya ke Surabaya, Kiai Abdul Wahab telah mengajak Kiai Bisri mendirikan sebuah badan usaha yang diberi nama Nahdlatut Tujar. Berdiri di Jombang tahun 1918, usaha berbentuk koperasi itu diketuai oleh guru mereka Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, melibatkan kedua Kiai muda itu dan ulama-ulama lain. Badan usaha ini tidak berlanjut karena kepindahan Kiai Abdul Wahab ke Surabaya.
Dalam tahun 1924, Kiai Abdul Wahab yang masih sebaya dengan beberapa pemuda lain yang 'beredar' di sekitar Haji Oemar Sa'id Tjokroaminoto, segera terlibat dalam sebuah kegiatan bersama dengan beberapa tokoh muda lainnya, seperti Kiai Mas Mansoer, yang masih termasuk anggauta inti hubungan kekeluargaan para kiai tradisional di kota Surabaya. Tokoh-tokoh yang semula warga Syarikat Islam itu, baik yang dari Muhammadiyah maupun yang bukan, tergugah oleh kegiatan untuk turut merumuskan jawaban terhadap tantangan penghapusan khilafah oleh Kemal Ataturk di Turki. Dinasti Sa'udi yang baru saja merebut kekuasaan atas kota Mekkah, mengajukan himbauan agar kaum muslimin seluruh dunia memikirkan masalah tersebut. Dalam persiapan menyongsong berlangsunguya sebuah muktamar umat Islam tentang masalah itu di Mekkah, sebagaimana diusulkan oleh dinasti Sa'udi, muncullah sejumlah 'Komite Khilafah' di beberapa kota kita, dengan keanggotaan berbagai kalangan yang ada. Kiai Abdul Wahab termasuk dalam Komite Khilafah di kota Surabaya, yang diketuai Hadji Oemar Sa'id Tjokroaminoto dengan anggota lain termasuk Kiai Mas Mansoer.
Pada waktu delegasi Komite Khilafah Surabaya akan berangkat ke pertemuan antar komite tersebut di Bandung, Kiai Abdul Wahab tidak dapat turut hadir, karena ibunya meninggal dunia di Jombang. Dengan sendirinya 'pokok-pokok penting' yang dikemukakannya di Sura-baya menjadi tidak muncul di Bandung: permintaan agar kuburan para imam mazhab fiqh (Imam Malik dan Imam Syafi'i) yang ada di Masjidil Haram tidak dibongkar, dan tuntutan agar peribadatan haji menurut cara masing-masing (termasuk cara berbagai mazhab fiqh yang saling berbeda) tidak dilarang.
Kiai Bisri, sebagaimana kebanyakan kiai muda lainnya, yang lulus dan masih menunduki guru mereka di Tebuireng, secara periodik datang ke tempat gurunya. Kunjungan insidental sering dilakukan, termasuk kalau ada masalah yang sepatutnya dimintakan pertimbangan sang guru. Tetapi kunjungan menetap dilakukan dalam bulan Puasa, ketika para alumni 'kembali' ke pesantren tempat mereka semula belajar, guna mengikuti pengajian khusus sebulan penuh oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, terutama kumpulan hadits Bukhari dan Muslim, serta kitab fiqh standard yang menjadi 'wiridan' sang guru itu: Fathul Qarib, lebih dikenal dengan nama Taqrib.
Eratnya hubungan guru dan murid yang sudah sama-sama menjadi kiai itu sebenarnya tidaklah mengherankan karena sesuai secara keseluruhan dengan tradisi pesantren. Bahkan Kiai Hasyim Asy'ari sendiri memiliki hubungan guru-murid yang unik dengan gurunya semasa belum belajar di Mekkah dalam abad kesembilan belas, yaitu Kiai Khazin Siwalan Panji dekat Surabaya. Ketika Kiai Hasyim, sang murid, telah menjadi kiai besar dengan jumlah murid ribuan, sang guru Kiai Khazin datang ikut mengaji kepadanya dalam bulan Puasa di Tebuireng. Kiai Hasyim memberikan penghormatan sepenuhnya kepada gurunya di masa muda itu, tetapi juga mengikuti perintah sang guru supaya meneruskan pelajaran yang diberikannya.
Akrabnya hubungan Kiai Bisri dengan gurunya Kiai Hasyim itu terlihat ketika sang guru mempertanyakan secara terperinci berita-berita yang didengarnya tentang diri sang murid. Kiai Bisri dan iparnya, Kiai Abdul Wahab (yang baru kembali ke tanah air pada tahun 1917), menjelang tahun 1920 banyak terlibat kegiatan keagamaan de-ngan teman mereka semasa di Tebuireng dahulu, yaitu Abdul Mu'ti. Kawan yang lahir di Jombang ini, tetapi kemudian dikenal sebagai 'Kiai Mu'ti Kudus' oleh para warga Gerakan Pemuda Islam Indonesia sejak tahun lima puluhan di Jakarta, tidak mengikuti jejak mereka berdua untuk belajar di Mekkah. Dalam tahun belasan itu Abdul Mu'ti justeru terserap ke dalam gerakan Muhammadiyah yang berkembang di Jombang setelah Perang Dunia I.
Dengan segera kedua kiai muda lulusan Mekkah itu terlibat dalam hubungan yang unik dengan teman mereka Abdul Mu'ti itu. Di satu pihak mereka bertiga senantiasa memperdebatkan masalah-masalah yang diperselisihkan waktu itu, seperti masalah tahlil dan sebagainya. Tetapi 'dialog' itu juga merupakan forum pematangan bersama, karena silih berganti mereka melakukan debat antara pesantren yang didirikan Kiai Bisri di Denanyar dan di pusat kegiatan Muhammadiyah di kota Jombang sendiri. Sistim berganti tempat dalam melakukan perdebatan atas dasar saling menghormati, dan tidak akan ada keputusan hingga akhir hayat mereka, dengan segera terdengar oleh Kiai Hasyim di Tebuireng. Tidak heranlah jika kemudian Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab dipanggil ke Tebuireng, untuk mendapat teguran keras sehubungan dengan partisipasi mereka dalam serangkaian kegiatan Muhammadiyah di Jombang, dan pemberian kesempatan kepada Abdul Mu'ti untuk turut mengisi acara keagamaan di pesantren Kiai Bisri yang baru tumbuh itu.
Adalah menarik mendengar penuturan Kiai Bisri dikemudian hari, setelah wafatnya Kiai Abdul Mu'ti dalam penutup tahun-tahun tujuh puluhan, betapa Kiai Abdul Wahab justeru melawan penilaian sang guru atas perilaku mereka berdua. Itulah pertama kali Kiai Bisri melihat iparnya itu berbeda pendapat dari guru mereka, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Sedangkan Kiai Bisri sendiri, seperti sudah dapat diduga semula, tidak mengajukan bandingan pandangan apapun terhadap pendapat sang guru itu. Tetapi kembali mulai terlihat betapa iapun sudah mulai mengembangkan pola mengambil pendapat sendiri, karena setelah kejadian itupun ia masih terus bergaul dengan Kiai Abdul Mu'ti, hingga saat kepindahan teman itu ke Kudus pada permulaan tahun-tahun dua puluhan. Seperti juga halnya sewaktu sang guru itu menasehatinya agar tidak menimbulkan gelombang dengan mendirikan kelas putri di pesantrennya. Baik dalam kasus kelas putri itu maupun dalam kasus Abdul Mu'ti, sang guru tidak menjatahkan larangan mutlak, melainkan hanya menyangkut peringatan terhadap kemungkinan munculnya gelombang di kalangan kiai-kiai lainnya. Karena bentuk 'larangan' yang seperti itu, terdapat ruang gerak bagi sang murid untuk menentukan pendapatnya sendiri secara jelas. 'Kode etik' merumuskan pendirian seperti ini di kemudian hari juga dikembangkan Kiai Bisri sendiri, sebagaimana akan terlihat dalam banyak kasus nantinya.
Kedatangan kembali Kiai Abdul Wahab dari Mekkah, ternyata menyeret Kiai Bisri ke dalam pola kegiatan yang lain. Kiai Abdul Wahab hanya dua-tiga tahun saja tahan tinggal di desanya, Tambakberas di Jombang. Segera ia merasa begitu resah, sehingga ia memilih untuk menetap di Surabaya, tempat kerabat ibunya di bilangan Kertopaten, tidak jauh dari bilangan Ampel dan Sasak di utara kota. Kebetulan pada waktu itu berkumpul pula di Surabaya dua orang teman yang tadinya bersama-sama aktif dalam kegiatan Syarikat Islam cabang Mekkah yang hanya berumur setahun, yaitu Kiai Asnawi dari Kudus dan pemuda Dahlan (yang termuda diantara kelompok itu) dari Kertosono. Kiai Asnawi waktu itu dibuang ke Surabaya oleh pemerintah kolonial, karena sikapnya yang keras terhadap golongan non-santri. Dahlan, seperti halnya Kiai Abdul Wahab, tidak mampu menahan tarikan hidup kota besar. Bersama dengan sejumlah kiai muda setempat, seperti Kiai Dahlan Kebondalem dan Kiai Ridwan, mereka bertiga mendirikan klub kajian yang mereka beri nama Taswirul Afkar (terjemahan literer: konseptualisasi pemikiran). Dari kelompok kajian ini kemudian lahirlah sebuah sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Namun sebelum kepindahannya ke Surabaya, Kiai Abdul Wahab telah mengajak Kiai Bisri mendirikan sebuah badan usaha yang diberi nama Nahdlatut Tujar. Berdiri di Jombang tahun 1918, usaha berbentuk koperasi itu diketuai oleh guru mereka Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, melibatkan kedua Kiai muda itu dan ulama-ulama lain. Badan usaha ini tidak berlanjut karena kepindahan Kiai Abdul Wahab ke Surabaya.
Dalam tahun 1924, Kiai Abdul Wahab yang masih sebaya dengan beberapa pemuda lain yang 'beredar' di sekitar Haji Oemar Sa'id Tjokroaminoto, segera terlibat dalam sebuah kegiatan bersama dengan beberapa tokoh muda lainnya, seperti Kiai Mas Mansoer, yang masih termasuk anggauta inti hubungan kekeluargaan para kiai tradisional di kota Surabaya. Tokoh-tokoh yang semula warga Syarikat Islam itu, baik yang dari Muhammadiyah maupun yang bukan, tergugah oleh kegiatan untuk turut merumuskan jawaban terhadap tantangan penghapusan khilafah oleh Kemal Ataturk di Turki. Dinasti Sa'udi yang baru saja merebut kekuasaan atas kota Mekkah, mengajukan himbauan agar kaum muslimin seluruh dunia memikirkan masalah tersebut. Dalam persiapan menyongsong berlangsunguya sebuah muktamar umat Islam tentang masalah itu di Mekkah, sebagaimana diusulkan oleh dinasti Sa'udi, muncullah sejumlah 'Komite Khilafah' di beberapa kota kita, dengan keanggotaan berbagai kalangan yang ada. Kiai Abdul Wahab termasuk dalam Komite Khilafah di kota Surabaya, yang diketuai Hadji Oemar Sa'id Tjokroaminoto dengan anggota lain termasuk Kiai Mas Mansoer.
Pada waktu delegasi Komite Khilafah Surabaya akan berangkat ke pertemuan antar komite tersebut di Bandung, Kiai Abdul Wahab tidak dapat turut hadir, karena ibunya meninggal dunia di Jombang. Dengan sendirinya 'pokok-pokok penting' yang dikemukakannya di Sura-baya menjadi tidak muncul di Bandung: permintaan agar kuburan para imam mazhab fiqh (Imam Malik dan Imam Syafi'i) yang ada di Masjidil Haram tidak dibongkar, dan tuntutan agar peribadatan haji menurut cara masing-masing (termasuk cara berbagai mazhab fiqh yang saling berbeda) tidak dilarang.
Siiipppp
BalasHapusSiiipppp
BalasHapus