DAKWAH PERLU DITELITI
Sebenarnya sudah
lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina
pejabat tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan
berbau SARA? Apalagi contohnya sudah banyak - seperti kasus Imran. Bagai racun,
dakwah yang diberikannya secara eksklusif kepada bekas anak buah sudah
membuahkan perbuatan-perbuatan krimiminal.
Ada juga yang
dilakukan sejumlah lembaga - seperti Kodi (Koordinator Dakwah Islam ) DKI
Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu dan kini? Bagaimana dakwah
dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga - seperti acara lokakarya
'Dakwah di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu.
Juga pendidikan
dakwah dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Disamping itu
diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan
berbeda-beda; narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah
seterusnya. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif.
Persoalannya
justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Apakah ukuran yang
digunakan? Banyaknya pengunjung? Bukankah banyak di antara mereka mengantuk?
Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimana diterangkan pola perilaku mereka yang
diluar forum dakwah, tidak berubah banyak? Paling banyak hanya beberapa aspek
moralitas pribadi: pakai tutup kepala bagi wanita, rajin ke mesjid bagi
sementara, getol mendermakan uang bagi yang kaya.
Seminar Palembang
Di sinilah perlu
direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang
diseminarkan di Palembang baru-baru ini. Dari jawaban, umumnya responden
ternyata menganggap hidup hanya untuk bekerja. Fungsi kerja umumnya mereka
rumuskan sebagai mencari nafkah sedikit banyak dikaitkan dengan pertimbangan
antar-ganerasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali orang menjawab
bahwa hidup ini untuk beramal mengabdi .
Cukup
mengejutkan, bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan
komunitas-komunitas yang di teliti ? Kenyataan itu wajar, kalau ditafsirkan
dari sudut lain : perhatian warga masyarakat masih terpusat pada upaya bertahan
sekedar hidup. Maklumlah masih banyak yang berada pada tahap hidup di bawah
garis kemiskinan mutlak.
Memang, di luar,
dalam pengamatan lahiriah tampak muncul kebutuhan kepada ritus keagamaan dalam
skala masif, seperti terbukti dari derasnya 'back to mosque' . Tetapi lalu
muncul pertanyaan : apakah 'kebangkitan Islam' yang seperti itu sebenarnya
bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta" untuk
melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual?
Masih harus
diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid, dan kesadaran
beragama yang memiliki kedalaman iman serta keterlibatan yang lebih bermakna.
Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti
dari hasil penelitian yang kita bicarakan disini, adalah tidak bertautnya sama
sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran Agama.
Agama mengajarkan
kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita terungkap, oleh penelitian di
atas,"menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki
solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi yang dalam
kenyataan sebaliknya yang terjadi. Kesenjangan besar antara si kaya dan si
mikin adalah bukti paling kongkrit.
"Khatibin
nas 'ala qadri'uqulihim", kata Nabi Muhammad: Berbicaralah kepada manusia
sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak
pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah. Bukankah diktum
nabi itu justru mengharuskan kita menelaah pelapisan masyarakat tempat mereka
hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan
dalam bentuk luarnya - seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu
menyajikan hiburan bagi pengunjung. Tetapi dalam bentuknya yang hakiki,
membicarakan persoalan kongkret yang sedang dihadapi.
Sekarang terasa
kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekedar
melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritual
yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa
neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan kepada serangan kebudayaan
modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan
agama.
Hasil penelitian
diatas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan
amal dan pengabdian menunjukkan betapa salahnya 'agenda dakwah' yang disebutkan
terdahulu itu. Ternyata tujuan dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup
bermasyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari - oleh para pemikir dan
penentu kebjaksanaan keagamaan Islam kita - bahwa efektivitas dakwah masih
harus diteliti?
(Sumber: TEMPO, 3
April 1982)
Komentar
Posting Komentar