SEJARAH LAMA
Jepang menduduki Hindia Belanda, demikian kawasan Indonesia waktu
itu dikenal, pada bulan maret 1942. Kyai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng di
Jombang disuruh membungkukkan badan (seikeirei) ke arah timur laut tempat kaisar (Tenno
Heika) bersemayam di Tokyo. Bagi beliau, ini merupakan penyerahan diri kepada
keyakinan bahwa Kaisar Jepang adalah putra dewa matahari (amaterasu).
Polisi rahasia Jepang (kempeitai) marah atas pembangkangan ini, dan
beliaupun dimasukkan penjara Kalisosok-Surabaya. Delapan bulan lamanya beliau
ada di situ, dengan penyiksaan dan tindakan keji lainya. Sebagai akibat, beliau
tidak dapat menggerakkan tangan kirinya, alias lumpuh. Pemerintah pendudukan
Jepang baru belakangan mengetahui betapa besar pengaruh beliau, dan segera
dibebaskan setelah delapan bulan berada di penjara.
Perlawanan dalam bentuk berdiam diri menahan siksaan ini,
bagaimanapun juga telah memberikan bekasnya dalam sejarah.
Paling tidak, sikap tidak rela itu segera diketahui masyarakat
banyak, dan memang inilah inti dari pada perlawanan kultural, bukan perlawanan
militer. Sengaja tidak diambil pilihan perlawanan secara militer karena
waktunya dipandang belum tepat, dan kita tidak siap untuk itu.
Putra beliau yang bernama Abdul Wahid Hasyim memimpin Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) dalam tahun itu juga di Jakarta. Tinggal di
Jalan Diponegoro, kyai muda ini diminta mewakili ayahnya oleh pihak Jepang
untuk membuka Sunmubu (kantor agama) –yang di kemudian hari berkembang menjadi
Departemen Agama. Dalam kapasitas itulah –pada suatu hari, ia dihubungi oleh
Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang. Ia ditanyai, siapa yang
patut diperlakukan selaku wakil bangsa Indonesia? Ia menjawab, hal itu akan
diketahui setelah ia berkonsultasi dengan ayahnya di Jombang, yaitu KH. Hasyim
Asy’ari, di Tebuireng.
Dalam pembicaraan per telepon dengan sang ayahanda di Tebuireng,
Jombang, ia mendapatkan jawaban. Bahwa orang yang pantas didukung sebagai
pemimpin bangsa Indonesia adalah Soekarno. Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama
(NU), dan Kyai yang sangat disegani serta punya pengaruh luas, pilihan ini
tentu mengandung tempat yang sangat terhormat bagi diri Bung Karno.
Dengan demikian, pemerintahan pendudukan Jepang, menunjuk Soekarno
sebagai pemimpin rakyat beserta Mohamad Hatta. Dilihat dari sepak terjang dan
sikap tersebut, kedudukan dua tokoh itu sebagai pemimpin bangsa adalah sesuatu
yang sangat jelas. Apabila keduanya sepakat tentang sesuatu hal, boleh dikata
hal itu telah menjadi keputusan bangsa ini. Demikianlah kesepakatan mereka
untuk merdeka, akhirnya tertuang dalam teks proklamasi kemerdekaan bangsa kita
pada tanggal 17 agustus 1945. Bagi mereka, tidaklah begitu penting dengan
melihat apa yang mereka lakukan saat itu --karena memang dipaksa oleh para
pemuda, seperti Soekarni.
Dalam "membaca" kejadian itu, kita harus menyadari, bahwa
para pemimpin kita dahulu sepakat untuk merdeka, sedangkan mengenai hal-hal
lain akan ditetapkan kemudian. Jadi memang terasa betapa penting sikap yang
diambil bersama-sama oleh para elite bangsa kita di masa itu.Tanpa adanya sikap
seperti ini, kita mungkin kini belum merdeka, hingga hari ini.
Sayangnya, hal ini tidak tampak di kalangan para elite kita pada
masa sekarang. Masing-masing mencari pemenuhan ambisi pribadi, dengan
mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Yakni, kepentingan nasional yang
selalu dikalahkan oleh ambisi pribadi serta kepentingan kelompok. Ini semua
ternyata membawa sebuah akibat lain, yaitu suatu pertentangan tajam di antara
mereka. Masing-masing ingin tampil sebagai pemimpin bangsa, dan boleh dikata
tidak mengakui secara tulus kepemimpinan orang lain. Dikombinasikan dengan
kepandaian membungkus semua kekurangan -dengan retorika indah yang tak
berpengaruh apa-apa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sikap tersebut
membawa kita kepada kemacetan kehidupan yang kita alami sekarang ini.
Jalan satu-satunya untuk mendobraknya adalah dengan cara
meninggalkan sikap seperti di atas. Sudah waktunya kita memikirkan nasib bangsa
ini secara keseluruhan. Kalau perlu dengan menanggalkan sikap memandang penting
arti diri sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan dasarnya adalah, sanggupkah kita
sebagai bangsa mengembangkan sikap meninggikan kepentingan bersama itu dan
mengalahkan kepentingan pribadi para pemimpin bangsa kita?
Komentar
Posting Komentar