KH Bisri Sansuri 1
Pada usia tujuh tahun Bisri mulai belajar agama secara teratur, yaitu dengan
belajar membaca Alquran dengan aturan bacaan (tajwid) yang benar pada Kiai
Shaleh di desa Tayu juga. Tradisi membaca A1-quran seperti ini adalah tradisi
yang sudah berumur ratusan tahun di kawasan Nusantara. Pada gilirannya, ia
bersumber pada tradisi 1400 tahun yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad
Sallallahu 'alaihi wasallam, sebagai landasan utama pemeliharaan ajaran agama
dari penyelewengan isi dan pengertian, sebagaimana terjadi pada agama-agama
lain. Alquran adalah inti dari pembuktian kebenaran ajaran yang dibawa
Muhammad, karena itu ia harus dipelihara sebaik-baiknya, dari cara membacanya
hingga cara memahaminya serta penerapan pemahaman itu pada kenyataan hidup.
Pada hampir tiap dusun yang penduduknya kuat menganut ajaran Islam, senantiasa disediakan peluang untuk menguasai bacaan Alquran yang benar. Tidak hanya di pesantren, masjid maupun surau dan lang-gar, melainkan juga di lingkungan rumah tangga, kalau hal itu dimungkinkan. Di tempat orang bisa memberikan pelajaran membaca Alquran dengan baik, senantiasa ada kelas khusus untuk itu sehingga jumlah 'kelas baca Alquran' (Koran-chanting schools, menurut istilah sejumlah pengamat dari lingkungan ahli-ahli ketimuran/orientalists) sa-ngat besar di mana-mana di dunia Islam. Ketika Clifford Geertz mengemukakan jumlah angka 52.000 buah pesantren yang bertebaran di pulau Jawa, kemungkinan sangat besar ia memasukkan kelas-kelas baca Alquran dalam kategori pesantren. Kelas-kelas baca Alquran itu adalah titik pertama dalam perjalanan penguasaan ilmu-ilmu agama secara mendalam di lingkungan kaum muslimin yang taat kepada ajaran agama mereka. Pada tahap kedua, mulai diajarkan kurikulum yang lebih kompleks, di mana mata pelajaran telah dipisahkan satu dari yang lain dalam kesatuan sistem yang bulat. Titik kedua itu pada-umumnya merupakan pesantren sederhana atau tingkat permulaan (elementary pesantrens, meminjam istilah yang digunakan Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya). Pesantren jenis ini menampung para siswa atau santri yang datang dari lingkungan setempat saja. Kalau telah ada san-tri yang datang dari daerah lain di sekitarnya barulah menginjak tahap pesantren pertengahan (intermediate pesantrens), di mana kompleksitas kurikulum juga semakin nyata. Yang terakhir adalah sejumlah pesan-tren-utama (main pesantrens) yang akan memunculkan ulama calon pengasuh pesantren tahap pertama dan kedua itu, dan juga menghasilkan calon-calon guru sekolah agama yang begitu banyak bertebaran dan tidak langsung berafiliasi kepada pesantren.
Pendidikan menguasai bacaan Alquran dengan sempurna itu, yang dikemudian hari akan menjadi salah satu perhatian khusus Bisri dalam mendidik para santrinya, ditempuhnya hingga usia sembilan tahun. Pada usia itu ia belajar pada salah seorang keluarga dekatnya yang menjadi ulama terkenal dan membuka pesantren sendiri di desa Kajen, sekitar 8 kilometer dari Tayu.
Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Alquran dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam atas fiqh. Di bawah ulama ini Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqh dan taf-sir Alquran (seringkali disingkat 'tafsir' saja) serta kumpulan hadits Nabi yang berukuran kecil dan sedang. Kiai Abdul Salam menerapkan pola kehidupan beragama yang sangat keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitas/akhlaqnya. Tidak heranlah jika di kemudian hari sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas menjadi salah satu tanda pengenal kepribadian Bisri yang khas. Gemblengan yang diterimanya dari Kiai Abdul Salam di masa mulai menginjak masa remaja ternyata sangat membekas, dan sangat menentukan corak kepribadian yang berkembang dalam dirinya di kemudian hari.
Pada hampir tiap dusun yang penduduknya kuat menganut ajaran Islam, senantiasa disediakan peluang untuk menguasai bacaan Alquran yang benar. Tidak hanya di pesantren, masjid maupun surau dan lang-gar, melainkan juga di lingkungan rumah tangga, kalau hal itu dimungkinkan. Di tempat orang bisa memberikan pelajaran membaca Alquran dengan baik, senantiasa ada kelas khusus untuk itu sehingga jumlah 'kelas baca Alquran' (Koran-chanting schools, menurut istilah sejumlah pengamat dari lingkungan ahli-ahli ketimuran/orientalists) sa-ngat besar di mana-mana di dunia Islam. Ketika Clifford Geertz mengemukakan jumlah angka 52.000 buah pesantren yang bertebaran di pulau Jawa, kemungkinan sangat besar ia memasukkan kelas-kelas baca Alquran dalam kategori pesantren. Kelas-kelas baca Alquran itu adalah titik pertama dalam perjalanan penguasaan ilmu-ilmu agama secara mendalam di lingkungan kaum muslimin yang taat kepada ajaran agama mereka. Pada tahap kedua, mulai diajarkan kurikulum yang lebih kompleks, di mana mata pelajaran telah dipisahkan satu dari yang lain dalam kesatuan sistem yang bulat. Titik kedua itu pada-umumnya merupakan pesantren sederhana atau tingkat permulaan (elementary pesantrens, meminjam istilah yang digunakan Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya). Pesantren jenis ini menampung para siswa atau santri yang datang dari lingkungan setempat saja. Kalau telah ada san-tri yang datang dari daerah lain di sekitarnya barulah menginjak tahap pesantren pertengahan (intermediate pesantrens), di mana kompleksitas kurikulum juga semakin nyata. Yang terakhir adalah sejumlah pesan-tren-utama (main pesantrens) yang akan memunculkan ulama calon pengasuh pesantren tahap pertama dan kedua itu, dan juga menghasilkan calon-calon guru sekolah agama yang begitu banyak bertebaran dan tidak langsung berafiliasi kepada pesantren.
Pendidikan menguasai bacaan Alquran dengan sempurna itu, yang dikemudian hari akan menjadi salah satu perhatian khusus Bisri dalam mendidik para santrinya, ditempuhnya hingga usia sembilan tahun. Pada usia itu ia belajar pada salah seorang keluarga dekatnya yang menjadi ulama terkenal dan membuka pesantren sendiri di desa Kajen, sekitar 8 kilometer dari Tayu.
Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Alquran dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam atas fiqh. Di bawah ulama ini Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqh dan taf-sir Alquran (seringkali disingkat 'tafsir' saja) serta kumpulan hadits Nabi yang berukuran kecil dan sedang. Kiai Abdul Salam menerapkan pola kehidupan beragama yang sangat keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitas/akhlaqnya. Tidak heranlah jika di kemudian hari sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas menjadi salah satu tanda pengenal kepribadian Bisri yang khas. Gemblengan yang diterimanya dari Kiai Abdul Salam di masa mulai menginjak masa remaja ternyata sangat membekas, dan sangat menentukan corak kepribadian yang berkembang dalam dirinya di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar