KH BISRI SANSURI NYANTRI DI MBAH KHOLIL


Pada usia 15 tahun Bisri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kiai Khalil di Demangan, Bangkalan, ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai yang terpandang di seluruh Jawa waktu itu. Terkenal sebagai 'waliullah' yang memiliki keistimewaan serba ragam yang bersifat supernatural, Kiai Khalil menyimpan di balik wajah 'kewaliannya itu penguasaan sangat dalam atas ilmu-ilmu agama yang diterima di kalangan kaum muslimin waktu itu, sebush kombinasi yang sangat jarang tercapai sepanjang sejarah ulama muslimin. Kiai Khalil adalah perwujudan dari sebuah proses yang telah berlangsung lebih setengah abad lamanya. Proses itu adalah munculnya ulama-ulama terkenal di kalangan 'santri Jawi' yang berasal dari kawasan Asia Tenggara sejak pertengahan abad kesembilan belas di Mekkah.
Van der Kolf, menurut van Niel dalam bukunya tentang kebangkitan elite modern Indonesia, menyatakan salah satu sebab meninggalnya pendidikan pesantren adalah munculnya golongan kaum kaya baru di pedesaan Jawa pada pertengahan abad kesembilan belas. Sebagai wiraswasta di bidang pertanian, para petani yang sukses dalam melayani kebutuhan perkebunan-perkebunan tembakau, kopi, teh, tebu dan sebagainya (yang dimiliki para pengusaha Eropa), dihadapkan kepada kebutuhan menentukan lembaga pendidikan mana yang sebaiknya ditunjang sebagai penampungan anak-anak mereka. Pendidikan sekolah 'negeri' tidak dapat dimasuki, karena ia hanya tersedia bagi anak-anak kaum ningrat yang akan dimasukkan ke dalam sistem kepegawaian pemerintah kolonial. Mereka juga tidak bersedia mengi-rimkan anak-anak mereka ke sekolah dagang Tionghoa, yang mungkin juga tidak mau menerima anak-anak mereka itu, karena belum adanya tradisi kebersamaan antara kelompok-kelompok yang secara budaya dan etnis berasal dari lingkungan berlainan. Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi mereka selain mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren.
Pada saat yang sama, terbukanya jalur pelayaran kapal api ke Eropa melalui terusan Suez telah memungkinkan terbukanya perjalanan kapal secara reguler antara Indonesia dan Tirnur Tengah. Gabungan antara meningkatnya kekuatan finansial dan semakin terjaminnya hubungan dengan kawasan Timur-Tengah menghasilkan sebuah proses baru dalam pendalaman ilmu-ilmu agama Islam di Jawa. Bentuknya adalah pengiriman para santri untuk mendapatkan pendidikan lanjutan di Mekkah, jantung kehidupan ilmiah tradisional dunia Islam waktu itu. Pada saat itu di semenanjung Arabia sedang terjadi sebuah proses berlingkup luas, yaitu berlangsungnya dialog intensif antara orientasi keagamaan lama dan tuntutan akan pemurnian ajaran agama yang diajukan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab. Dialog tersebut menghasilkan sebuah tradisi keilmuan yang baru, yaitu penegasan kembali otoritas fiqh atas aspek-aspek lain dari kehidupan beragama Islam.
Tradisi kekiaian jenis baru muncul, yaitu dari lingkungan mereka yang memeriksa kembali pola pendalaman ilmu-ilmu agama Islam yang sudah cukup lama berjalan di kalangan pesantren. Ilmu-ilmu seperti kanuragan (kekebalan) dan lain-lain, yang dipergunakan untuk memperkuat tubuh dengan tenaga supernatural, ditundukkan kepada pengarahan kembali oleh metode berpikir keagamaan yang berlandas-kan pada fiqh dan peralatannya. Muncullah generasi baru para ulama fiqh yang tangguh di Mekkah, yang berasal dari kawasan Asia Tenggara, seperti Kiai Nawawi Banten. Kiai Khalil Bangkalan berasal dari tradisi ini, karena ia berhasil menggabungkan kedua kecenderungan fiqh dan terekat dalam dirinya, dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fiqh. Tidak heranlah jika pesantrennya lalu menjadi tempat utama untuk mencetak calon kiai di masa depan, dan karena itu pulalah pemuda Bisri pada usia belasan tahun itu belajar di Bangkalan. Di sana ia bertemu, dan akhirnya menjadi teman karib, seorang santri dari Jombang yang bernama Abdul Wahab Hasbullah. Dari jalinan hubungan itu akan tumbuh sesuatu yang mempunyai arti penting bagi perjalanan agama Islam beberapa puluh tahun setelah itu di Indonesia.
Sebenarnya, sebelum itu ia pernah juga belajar pada Kiai Syu'aib Sarang dan Kiai Khalil Kasingan (kedua-duanya di daerah Rembang), dua orang ulama terkemuka di pesisir utara pada waktu itu. Kemungkinan pendidikan di bawah kedua ulama itu ditempuhnya untuk jarak waktu singkat di masing-masing tempat, dan bisa jadi hal itu dilakukan dalam bulan Puasa. Pada bulan tersebut pesantren menyediakan program pengajian khusus untuk jarak waktu sebulan saja, digunakan untuk keperluan menyegarkan kembali orientasi para alumni terhadap perkembangan dalam memahami teks-teks utama dalam literatur keagamaan lama. Pesantren-pesantren utama pada masa seperti itu menjadi ramai dengan kehadiran para alumni yang sudah menjadi ulama di tempat masing-masing, untuk mengikuti program penyegaran kembali itu. Didasarkan pada tradisi 'santri keliling' (wandering santris) yang merupakan corak khas kehidupan pesantren, dengan para santri berpindah-pindah pesantren dalam frequensi cukup tinggi guna mengejar spesialisasi, program khusus pengajian bulan Puasa itu merupakan bagian sangat penting dari pembentukan tata nilai universal di kalangan ulama pesantren. Tradisi 'santri keliling' tersebut, yang melandasi pengajian Puasa itu, pada dirinya dilandaskan pada sistim pewarisan pengetahuan berdasarkan sistim magang menjadi kiai, yang dikenal dengan nama sistim ijazah. Bentuknya yang paling sering dipakai ada-lah pemberian perkenan secara lisan kepada seorang santri untuk mengajarkan teks tertentu, setelah kiainya puas dengan kemampuan dan penguasaan santri yang bersangkutan atas teks tersebut. Sistim pemberian perkenan yang dikenal dengan nama sistim ijazah itu, pada asalnya berkaitan sangat erat dengan konsep barakah (berkat, grace) yang merupakan pelanjutan doktrin emanasi (faidh) ilmu ketuhanan kepada diri manusia melalui medium nabi, wali, orang alim dan seterusnya

Komentar

Postingan Populer