Selayang Pandang Keteladanan Kyai Haji Chudlori dari Priyayi ke Kyai


Nahdlotul Ulama (NU)  merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia yang berdiri pada tanggal 31 januari 1926 yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asyari. Salah satu alasan mengapa NU bisa menyandang predikat sebagai salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia, karena NU berpaham ahlussunnah wal jamaah dan menggunakan jalan pendekatan dalam menyampaikan ajarannya,sehingga masyarakat bisa menerima dengan baik apa yang menjadi ajaran organisasi tersebut.
Pertama kali NU di Magelang diprakarsai, dengan adanya pondok pesantren yaitu pondok  pesantren Payaman yang diasuh oleh K.H. Siroj. Dengan adanya pondok pesantren tersebut, mulailah berkembangnya NU sebagai wadah dalam ta’limul muta’alim di Magelang. Pada era kemerdekaan, pondok pesantren ini sebagai wadah perjuangan untuk menjaga keutuhan Republik Indonesia. Kiprah beliau dengan memperjuangkan keutuhan RI dibantu oleh para ‘ulama’ lainnya. Diantarannya K.H. Dalhar asal Watu Congol dimana pada masa itu penjajah menyerang wilayah Magelang. Pesantren menjadi sarana bagi NU untuk mengusir para penjajah dan menyebarkan agama islam yang beraliran ahlussunnah wal jamaah. Selain itu pesantren juga merupakan sarana untuk mencetak kader penerus NU. Di Magelang sendiri telah berdiri banyak pesantren yag beraliran Aswaja,sebagai contoh pondok pesantren Asrama Perguruan Islam (API) yang terletak di Dusun Kauman Desa Tegalrejo.
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal, 15 September 1944 oleh K.H. Chudlori yaitu seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah putra kedua dari Bapak Ikhsan dari 10 bersaudara dan ibunya bernama Ibu Mujirah putri Karto Dwiryo yang menjabat sebagai Lurah di Kali Tengah dekat kota kecamatan Muntilan,meskipun seorang priyayi akan tetapi ayah K.H. Cludlori tetap menginginkan salah satu putranya menjadi seorang kyai. Berangkat dari keinginan tersebut ayah K.H. Cludlori meminta doa kepada K.H. Syiroj Payaman Secang Magelang. Beliau diberi  petunjuk yang isinya  “Apabila kalian ingin salah satu dari anakmu menjadi seorang kyai maka anakmu harus dimasukan ke pondok pesantren dan kalian sebagai orangtua harus selalu mendoakan anak-anakmu”.
Pada tahun 1943 setelah menyelesaikan studinya di HIS (Hollandsh Inlandcsh School). Kyai Chudlori dikirim ayahnya belajar di Pesantren Payaman,sebuah pesantren yang terkenal di Magelang yang di asuh oleh Kyai Siroj. Di sini Chudlori menghabiskan waktu dua tahun kemudian ia pun pindah ke Pesantren Koripan yang diasuh oleh Kyai Abdan,  dari Koripan Kyai Chudlori pindah mengaji ke Pesantren Kyai Rahmat di Grabag sampai tahun 1928. Kyai Chudlori masih merasa haus akan ilmu agama, untuk mengobati rasa haus akan ilmu agama, ia pun kembali nyantri ke Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur yang diasuh oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau bertolabul ‘ilmi kepada Hadrotussyaikh di Jombang selama belasan tahun. Setelah belajar dari Pesantren Tebu Ireng,Chudlori pun kembali lagi ke Magelang untuk belajar kepada K.H. Dalhar Watu Congol Gunung Pring Muntilan Magelang. Dengan melihat kesungguhan dan kesederhanaan K.H. Chudlori,K.H. Dalhar tertarik kepada sosok K.H. Chudlori,yang kemudian dinikahkan dengan salah satu putri dari K.H. Dalhar. Melihat ilmu agama yang dimiliki oleh K.H. Chudlori,KH.Dalhar mengutus K.H. Chudlori untuk kembali ke Tegalrejo dan mendirikan Pondok Pesantren. Melihat kenyataan bahwa Tegalrejo bukan kota religius,semakin meyakinkan dirinya untuk berbuat sesuatu bagi para warganya. 
K.H.  Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru yang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan.
  Pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, K.H. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.

            Berkat ketegaran dan keuletan K.H. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika didentikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta  kondisi sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi K.H. Chudlori merupakan prestasi yang membanggakan. Aksi negatif masyarakat, setelah tiga tahun API berdiri semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan mengorbankan segala dana dan daya yang ada, demi suksesnya perjuangan K.H. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun 1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah 36 kitab, termasuk Kitab milik K.H. Chudhori dibakar hangus, sementara santri santri termasuk K.H.Chudhori mengungsi ke suatu desa yang bernama Tejo kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti. Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman K.H.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali, sehingga K.H.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di tempat semula. Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan, sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.

            Inilah puncak prestasi K.H.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat,yang merupakan suratan taqdir, di mana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, K.H. Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat) di penghujung tahun 1977, sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (K.H. Abdurrohman Ch.) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch.). Di bawah kepemimpinan K.H.Abdurrahman Ch. pondok pesantren API Tegalrejo mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini bisa dilihat dari jumlah santri yang mencapai lebih dari 3000 santri,yang tidak lepas dari kesungguhan K.H. Abdurrohman Ch. dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh ayahnya. Selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren API beliau K.H. Abdurahman Ch. juga aktif dalam Organisasi NU,beliau pernah menjabat sebagai ketua PCNU Kab Magelang,ikut serta dalam mendirikan partai PKB sebagai dewan syura,dan juga ikut berpartisipasi dalam mendirikan PKNU sebagai dewan syura pusat, dan menjadi syuriah NU di Jawa Tengah serta mendirikan sebuah Pondok Pesantren Modern yaitu API ASRI Tegalrejo yang menaungi sebuah sekolah bernama SMK Syubbanul Wathon Tegalrejo Magelang. Salah satu tujuan didirikannya SMK Syubbanul Wathon yang berbasis islamic boarding school yaitu untuk mencetak kader kader NU yang berintelektual tinggi dan  berakhlakul karimah.  
oleh : Muhammad Maulana Abdul Karim

Komentar

Postingan Populer